Flash Back – Cerita pribadi sebuah pengabdian (season satu-part 1)

Ini adalah sebuah kisah rutinitas saya ketika harus bekerja menembus hutan belantara hanya  untuk sesuatu bernama “PENGABDIAN”.

Adalah Leles, sebuah kecamatan nunjauh di ujung selatan sebuah Kabupaten di  Jawa Barat yang bernama Cianjur. Berjarak tempuh sekitar 125 km dari pusat pemerintahan Cianjur, tempat ini merupakan sebuah kecamatan pemekaran dari kecamatan induknya yang bernama Agrabinta (yang sering diplesetkan menjadi Argentina-saking jauhnya dari Cianjur hehehe). Untuk mencapai tempat ini diperlukan nyali yang besar dan tenaga yang ekstra kuat. Kenapa begitu? Saya mengalaminya sendiri dan akan saya ceritakan sebagai sebuah flashback awal mula perjalanan saya menjadi seorang pegawai pemerintahan.

Saya tidak menyangka sedikipun jika akhirnya saya harus menjadi sebuah bagian dari sistem birokrasi Negara tercinta ini. Meskipun hanya untuk scope kabupaten, tapi disinilah ternyata sebuah pengabdian dari seorang pegawai muda yang siap ditempatkan dimana saja (sesuai surat pernyataan bermaterai yang ditandatangi saya sendiri) dimulai. Hari itu, sebuah hari di bulan September 2006 saya melakukan perjalanan pertama ke wilayah selatan Cianjur. Tidak banyak informasi yang saya ketahui tentang wilayah selatan Kabupaten kelahiran saya tersebut, selain ” pakidulan mah jalanna muir, jalanna jiga jalan ka cai”. Dengan diantar oleh saudara saya menggunakan motor, saya akhirnya mengetahui juga bahwa Kabupaten ini ternyata jauh lebih luas dibanding ibukota Negara RI. Perjalanan dimulai dari rumah saya tepat pukul enam pagi, tujuan pertama saya adalah kecamatan Pagelaran yang berjarak tempuh leihkurang 65 Km dari pusat kota. Menggunakan motor dengan kecepatan sedang, ternyata memakan waktu lebih dari dua jam (sebagai perbandingan, jarak Cianjur Bandung yang 63 Km bisa ditempuh ‘hanya’ dalam waktu 1,5 jam tanpa macet). Jalanan yang dilalui tidak selebar jalan-jalan protocol di sepanjang jalur provinsi, memiliki jalur unik karena berliku-liku sepanjang jalan dengan sisi-sisi berupa tebing atau bukit dan jurang disisi yang berlawanan, sehingga harus ekstra hati-hati bagi pemula seperti saya waktu itu. Permukaannya pun tidak rata, itulah pembenaran saya yang menempuh waktu lama untuk jarak yang hampir sama hehehe.

Tiba di pagelaran hampir pukul 9.00 WIB, akhirnya saya bertemu dengan atasan saya – yang akhirnya saya bekerja sama dengannya selama tiga tahun-. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya kami (saya dan atasan saya) berangkat menuju kecamatan Leles, tempat tugas saya yang pertama sebagai penyuluh lapangan. Kami membawa motor masing-masing. Saya mengekor dibelakang atasan saya karena tidak tau rute yang akan dilalui. Sepanjang jalan, saya lebih banyak takjub melihat alam Cianjur selatan yang masih natural. Sawah gunung hutan kami lalui, belum ada keluhan yang keluar dari mulut pengeluh saya hingga akhirnya tiba di perempatan patrol . Dari perempatan inilah nyali dan fisik saya mulai diuji, betapa tidak… ternyata permukaan jalan yang dilalui tidak seperti permukaan jalan pada umumnya yang halus dan rata. Gundukan batu pecah berserakan! Itulah permukaan jalan yang saya lalui untuk mencapai kecamatan pemekaran tersebut. Ketika saya membaca papan penunjuk jalan, tertulis “AGRABINTAà30KM”. ya Alloh, masih jauhkah? Sementara jarak tempuh yang sudah saya lalui dari pagelaran menuju perempatan ini saja sudah hampir  dua jam, itu artinya hampir  60 Km.  Dan jika saya total dari Cianjur hingga perempatan ini saja sudah hampir 120 Km. “Bismillah” saya menguatkan diri.

cianjur

kurang lebih, inilah foto2 tempat yang saya lalu ketika akan 'mengabdi' di tempat tugas hehe

Awalnya masih takjub dengan pemandangan yang saya lihat, hamparan luas tegalan alang-alang, alur sungai cibuni yang meliuk-liuk yang saya lihat dari ketinggian gunung bengbreng, hamparan pesawahan, dan pemandangan alami lainnya yang tidak mungkin saya lihat di kota membuat saya melupakan permukaan jalan yang tidak rata. Eksotik.

Jalan yang dilalui pun sepi. Hanya satu dua rumah penduduk yang saya lalui, sisanya adalah kebun karet, hutan jati, dan hutan yang kelihatannya memang sudah lama tumbuh diwilayah itu. Hampir menunjukkan adzan duhur, saya memasuki desa pertama kecamatan leles tersebut, namanya desa MANDALAWANGI. Disini keluhan saya, yang akhirnya menjadi keluhan khas ketika harus bertugas ke Leles, mulai muncul. “Duh.. ini jalan meuni gak ada habisnya.. jelek banget!!! Wajar kalo disebut susukan saat (sungai kering). Kok orang-orang betah ya tinggal disini?” demikian cerocos saya yang tidak terungkap alias hanya dalam hati. Di desa ini, ada sebuah SMP Negeri, dan ketika saya melewatinya anak2 SMP baru saja bubar. Banyak diantara mereka yang menunggu angkutan. Sekedar informasi, angkutan yang lewat bisa dikatakan super sanagta jarang, mungkin satu jam Cuma 1. Dan yang membuat saya menahan senyum adalah mereka sampai nekat naik ke atap angkutan tersebut saking  penuh sesaknya dan tidak ada lagi angkutan (mungkin baru muncul satu jam kemudian hehehe). Kasian juga yaaa, tapi yang patut saya acungi jempol adalah semangat mereka buat bersekolah. Setelah melewati Mandalawangi, akhirnya saya memasuki sebuah desa bernama HAMERANG. Desa ini masuk kecamatan tetangga leles, yaitu Cibinong. Sumpahhhh…jalannya butttttttuuuuuuuuuuuttttt pisan.

beginilah kira2 jalan yang saya lalui ketika akan 'bertugas'

beginilah kira2 jalan yang saya lalui ketika akan 'bertugas'

Ngeriiiiiii…. Jalan batunya lebih buruk dibanding pas perempatan patrol, tapi sebelas duabelas sama jalan Mandalawangi. Jalanan terus menurun dengan sisi kanan kiri berupa jurang. Huffff…

Tunggu!!! Saya melihat ada dua anak SMP yang sedang berteduh dibawah sebuah pohon rindang, dan ketika melirik jam ternyata sudah jam 2 lewat. Buset, mereka berjalan kaki dari sekolahnya??? Padahal jalur yang mereka lalui: 1) hutan belantara, 2) jalan batu, 3) jaraknya jauh, dari sekolah sampe ke pohon rindang tersebut hampir dua jam. Akhirnya kami berhenti dan menawari dua murid SMP tersebut untuk ikkut serta. Asli, saya masih kaku boncengin orang di jalan yang sungguh tidak pernah saya lalui. Naluri ‘jurnalis’ pun muncul, selama membonceng si anak saya mengajukan beberapa pertanyaan. Dan jawaban2 si anak membuat saya terenyuh dan makin bersyukur bahwa saya dilahirkan dilingkungan yang setidaknya lebih kota dibanding mereka. Bayangkan, mereka berangkat subuh2 untuk ke sekolah karena jarak sekolah dan rumah mereka sangat jauh. Berebutan angkutan elf bersama murid2 lain dan penumpang2 orangtua yang akan menuju ke Cianjur Kota. Masih syukur rebutan sama orang, kadang mereka harus duduk diatap kap mobil elf tersebut bersama beberapa ekor kambing atau beberapa hasil bumi yang akan dijual ke Cianjur. sedihnya! Kemudian, untuk pulang sekolah mereka melakukan hal yang sama. Bahkan jika tidak kebagian angkutan, mereka harus rela berjalan kaki menempuh puluhan kilometer melewati hutan belantara, bahkan katanya kadang ketemu biawak yang sedang berjemur. HEBAT, saya angkat jempol untuk semangat kedua anak Pelosok ini bersekolah. Tidak terasa,anak tersebut tiba ditujuan, yakni sebuah pangkalan ojek perkampungan bernama Tangkil. Tidak banyak rumah penduduk di kampong tersebut, tapi saya membandingkan setidaknya kampong ini ada kehidupan dibanding tempat mereka berteduh seebelumnya yang berupa semak belukra bagian sebuah belantara hutan alami. Dari Tangkil inilah petualangan sejati saya dimulai. Saya harus menuruni turunan curam bersisi tebing disebelah kiri dan jurang disebelah kanan dengan permukaan jalan yang lagi2 batu. Ngeri!

Akhirnya, keluhan2 kembali keluar dari mulut saya bercampur dengan dzikir menyebut nama-Nya karena takut melihat jurang yang dalam. Tidak terbayang bukan?!?!?  Setelah di total  dari perempatan patrol tadi, sudah hampir dua jam saya ber’adventure’ di jalan batu tersebut, dan saya belum sampai juga, sial!

Sabar! Hanya kata itu yang akhirnya menjadi kata penguat saya untuk tiba dilokasi kecamatan Leles. Hampir menjelang magrib saya tiba di mess kecamatan leles. Artinya hampir seharian saya berada dijalanan. Berangkat dari rumah pukul 6 pagi, dan tiba di tempat tujuan hampir pukul enam sore. Ketika saya tiba, Tidak ada orang yang tampak disana. Sepiiiiiiiii… perkampungan yang tidak dihunyi orang banyak, dan  ‘penderitaan’ pun bertambah sempurna ketika setelah magrib lampu mati. Informasi yang saya dapat, ternyata tegangan ke daerah tersebut sering sekali turun setelah magrib, dan mati lampu adalah hal yang biasa. Ya Alloh, beginikah sebuah pengabdian?

Inilah awal penggalan cerita saya bertugas di pedalaman sisi selatan sebuah Kabupaten di Jawabarat, Cianjur. (bersambung…..)

Satu pemikiran pada “Flash Back – Cerita pribadi sebuah pengabdian (season satu-part 1)

  1. pengabdianku di leles sampai nafas ini berhenti, sampai tanah kelahiran ini memanggilku, sampai waktu diduniaku berakhir..tiap hari aku melalui jalan leles-parigi dengan perasaan yang sama ,27 tahun berlalu dengan begitu singkat.walau hanya sedikit yang bisa kulakukan setidaknya aku pernah berusaha..demi ibu+ayahku yang aku cintai aku ngin tetap hidup di leles agar aku bisa melewati hari-hari indah bersama keluargaku.

    Jawab: waw… orang leles ya. kerja dmn kang? ayo semangat bangun cianjur selatan 😀

Tinggalkan komentar